“Di belakang kita 
lautan, di depan kita musuh. Kita tidak dapat melarikan diri. Demi Allah
 Subhanahu Wata’ala Subhanahu Wata’ala, kita datang ke bumi Andalusia 
untuk menjemput syahid atau meraih kemenangan” 
Thariq Bin Ziyad, Panglima penakluk Andalusia
HAMPIR dalam semua 
literatur selalu menjelaskan dakwah bukanlah sesuatu yang berjalan 
mulus. Sebab pada dasarnya, dakwah adalah bahasa pergerakan yang penuh 
rintangan, fitnah dan tantangan yang tak sedikit. Kita dapat melihat 
bagaimana sejarah hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. 
Pembunuhan dan ancaman kematian membayang dalam kehidupan sehari-hari 
sebagai konsekuensi logis atas kepemimpinan dakwah yang dijalaninya 
selama 36 tahun. Untuk itu, anda yang mengharapkan pujian, pengakuan, 
jabatan dan  segala kemanisan hidup, dapat dipastikan anda berada di 
arah yang salah jika mengharapkan itu semua datang di jalan dakwah.
Seperti kisah Thariq bin Ziyad, seorang 
budak belia dari suku Barbar di Afrika. Pertemuan dengan dakwah Islam 
membawanya ke medan perang, menghabiskan hidup bersama jihad 
fisabilillah. Siapa sangka, takdir Allah Subhanahu Wata’ala   membawanya
 ke bumi Andalusia sebagai panglima perang pasukan Islam, mengemban 
tugas dakwah untuk menaklukan kezaliman Raja Roderick dengan bahasa 
pedang. Atas keberhasilannya menaklukan Andalusia (Spanyol=pen), seorang
 sejarawan Barat, Philip K. Hitti memberikan komentarnya, “Penaklukan
 Spanyol adalah perjuangan pertama dan terakhir yang paling sensasional 
untuk bangsa Arab. Mereka berhasil menaklukan wilayah Eopa terluas dan 
memasukkannya dalam naungan kekuasaan Islam.”
Diakui, adanya penaklukan Andalusia memang
 berdampak luas kepada perubahan sosial di wilayah tersebut. Revolusi 
sosial meledak, kebebasan beragama diakui dan dijamin pemerintahan 
Islam. Mereka menjalankan dengan patuh, perintah wakil khalifah Islam di
 Afrika, Musa Bin Nushair yang mengatakan perubahan sosial positivistik 
ini menandakan Islam mampu membantahkan pandangan kalangan non Islam, 
bahwa jika Islam berkuasa maka berpotensi terjadi kekacauan besar.
Faktanya, Andalusia menjadi kawasan 
teraman dengan dua pilihan, penduduknya memeluk Islam atau membayar 
pajak kepada kekhalifahan islam.
Konsep keamanan penduduk Anadalusia itu tercermin dari perkataan Musa bin Nushair.
“Saya berwasiat kepada kalian semua, 
taatlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala  , Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi Wassalam   dan pemimpin kalian. Niscaya kalian akan bahagia 
dunia dan akhirat. Berperanglah kalian karena Allah Subhanahu Wata’ala 
  dan bukan karena harta ataupun nama. Saya berwasiat kepada kalian. 
Janganlah membakar tanaman ataupun desa dan pepohonan yang berbuah. 
Jangan membunuh wanita dan orang tua, kecuali jika mereka bersenjata dan
 jangan membunuh anak-anak. Jangan pula membunuh mereka yang berlindung 
di dalam rumah atau tempat ibadah”
Sungguh sebuah pesan halus, bermakna dalam
 dan menyiratkan kepastian betapa luhurnya adab perang dalam Islam. 
Modal ketaatan itu yang mengiringi sekitar 12 ribu prajurit terbaik 
Islam menaklukan Andalusia. Angka 12 ribu terhitung cukup besar, namun 
untuk memilihnya bukan persoalan mudah.Tapi kecerdasan emosional, 
spiritual dan intelektual Thariq bin Ziyad berbicara dalam memilih 1 
ribu orang pasukan tersebut. Ketika dihadapkan kepada keputusan untuk 
memilih 12 ribu prajurit Thariq menetapkan standar spritualitas sebagai 
bekal bertarung di medan perang.
Dalam memilih dan memilah pasukan, Thariq 
menetapkan adanya dua indikator “prajurit Islam terbaik” yakni siapa di 
antara pasukan yang tak pernah meninggalkan shalaf fardhu dan tak pernah
 absen dalam menjalankan dwitunggal (shalat tahajud dan witir-pen).  
Satu alasan strategis atas indikator Thariq adalah kekuataan 
spritualitas adalah fondasi dasar dalam menjemput kemenangan. Thariq 
belajar sepenuhnya bagaimana shalat menjadi lambang kekuataan orang 
beriman. Dengan shalat, pasukan Islam diajarkan tunduk kepada keputusan 
Allah Subhanahu Wata’ala   apakah akan memberikan kemenangan atau 
menjemput predikat mati syahid.
Strategi Menguji Militansi
Tak hanya memilih pasukan terbaik, untuk 
menjemput kemenangan di medan perang, pasukan Thariq bin Ziyad 
menerapkan strategi perang pilihan. Dalam persoalan perang, Thariq 
membagi pasukannya menjadi empat kelompok pasukan. Kelompok pertama, 
pasukan pemanah yang dipimpin Amir dan berada di garda terdepan. Pasukan
 kedua, pasukan berkuda dipimpin Sufyan bertugas menggempur musuh dari 
sayap kiri. Pasukan ketiga, pasukan pejalan kaki menyerang dari sayap 
kanan dan pasukan terakhir dipimpin Thariq sebagai pasukan pendukung 
ketiga pasukan yang terbentuk.
Pembagian pasukan itu, terhitung unik 
sebab panah yang dilepaskan dari busur akan membunuh terlebih dahulu 
pasukan musuh. Memakai pasukan panah di depan adalah kunci strategis 
untuk mengalihkan perhatian musuh hanya terarah kepada satu kelompok 
pasukan saja. Jika strategi itu berhasil, serangan sayap kanan dan kiri 
tentu tidak terduga. Apalagi Thariq menyiapkan pasukan pendukung yang 
tak mudah diprediksi lawan.
Tidak hanya membagi pasukan, Thariq juga 
menerapkan strategi perang yang terbilang gila untuk ukuran zamannya, 
Thariq meminta kapal perang yang membawa pasukannya dari Afrika ke 
Andalusia dibakar. Strategi ini dipakai sebab dikhawatirkan kelak 
kendaraan dan alat perang tersebut jatuh ke tangan musuh. Sambil berdiri
 di puncak Jabal Thariq, panglima perang terbaik Islam ini berpidato 
lantang;
“Di belakang kita lautan, di depan 
kita musuh. Kita tidak dapat melarikan diri. Demi Allah Subhanahu 
Wata’ala  , kita datang ke bumi Andalusia untuk menjemput syahid atau 
meraih kemenangan. Demi Allah Subhanahu Wata’ala jika kita mundur, 
lautan akan menenggelamkan kita. Jika kita maju, musuh telah menanti 
kita. Kita hanya memiliki senjata, jika kita tenggelam di laut, nama 
kita tercemar dan Allah Subhanahu Wata’ala   akan mencabut rasa gentar 
di hati musuh. Jika kita maju, Allah Subhanahu Wata’ala   akan membuat 
musuh takut. Syahid dan syurga menunggu kita. Allah Subhanahu Wata’alau 
Akbar,” teriak Thariq mengobarkan semangat pasukan Islam.
Buah Manis Spritualitas
Jika ditelusuri mendalam, ada faktor kunci dalam kemenangan perang yang dijalani kaum muslimin. Spritualitas
 keimanan yang mendalam. Pasukan Islam meyakini, berjihad tak mengenal 
batasan usia dan waktu perang. Ketika perang menaklukan Andalusia, 
pasukan Thariq bin Ziyad sedang menjalani puasa Ramadhan.
Dalam meniupkan semangat berjihad kepada 
pasukannya, Thariq menanamkan kata-kata motivasi, “Saya sangat menyukai 
ketika berpuasa dalam cuaca panas terik kita sedang bertempur melawan 
musuh Islam. Sesungguhnya lapar dan haus tak menghalangi kita berjihad 
di jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
Wassalam   pernah beperang di bulan Ramadhan dan mendapatkan 
kemenangan.”
Pesan spritualitas itu tidak hanya 
dikumandangkan sekali saja, dalam kesempatan lain Thariq mengingatkan 
pasukannya agar beperang karena Allah Subhanahu Wata’ala, bukan karena 
amarah. Takutlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bukan kepada musuh. 
Jika sudah datang waktu shalat, kerjakanlah dan jangan meninggalkannya. 
Jangan pernah takut mati, sebab kematian Allah Subhanahu Wata’ala   yang
 menentukan. Pendek, namun pesan itu mengandung makna dalam bahwa 
keyakinan untuk syahid adalah modal utam menjemput kemenangan yang 
dijanjikan Allah Subhanahu Wata’ala.*
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar